Indahnya Cinta
karena Allah
Publikasi
22/07/2002 10:47 WIB
eramuslim -
Sesungguhnya dalam Islam, cinta dan keimanan adalah ibarat dua sisi mata uang.
Antara yang satu dengan lainnya tidak dapat dipisahkan. Cinta tidak dapat
digambarkan tanpa iman. Dan iman pun tidak dapat dibayangkan tanpa cinta.
Dengan cinta dan keimanan inilah hati setiap mukmin yang satu dengan lainnya
terikat kuat. Bila mukmin yang satu sakit, maka mukmin yang lain pun merasakan
hal yang sama. Karenanya, tak berlebihan bila seorang ulama Mesir yang telah
syahid, Al Ustadz Imam Hasan Al-Banna mengatakan bahwa dengan dua sayap inilah
Islam diterbangkan setinggi-tingginya ke langit kemuliaan. Bagaimana tidak,
jikalau dengan iman dan cinta, persatuan ummat akan terbentuk dan permasalah pun
akan terpecahkan.
"Dan
orang-orang yang beriman, laki-laki dan perempuan, sebagian mereka adalah
penolong bagi sebagian yang lain. Mereka menyuruh mengerjakan yang ma’ruf,
mencegah dari yang munkar, mendirikan sholat, menunaikan zakat, dan mereka
ta’at kepada Allah dan Rosul-Nya. Mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah.
Sesungguhnya Alloh Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana." (Qs. At Taubah :
71).
Hal itu juga
tidak lain karena orang mukmin itu laksana sebuah bangunan. Bagian yang satu
akan mengokohkan bagian yang lain. Sebaliknya, jika bagian yang satu hancur,
maka yang lain pun akan merasakan kehancurannya. Karena itu, hadits Rasulullah
saw juga menegaskan: "Gambaran orang-orang beriman dalam hal saling
mencintai, saling mengasihi, dan saling berempat di antara sesama mereka adalah
laksana satu tubuh, jika ada sebagian dari anggota tubuh yang sakit, maka
seluruh anggota tubuh akan ikut merintih, merasakan demam, dan tak bisa
tidur."
Sejarah Islam
telah menggoreskan pena emasnya, betapa para generasi pendahulu kita mempunyai
kehidupan yang sangat mulia dan jarang kita temui dalam kehidupan kita saat
ini. Mereka selalu saling tolong menolong, sepenanggungan dalam suka dan duka,
mempunyai rasa empati yang tinggi, dan selalu mengutamakan kepentingan saudara
seimannya daripada kepentingannya sendiri (itsar).
Abu Bakar as
Shiddiq, misalnya, beliau rela menginfaqkan seluruh hartanya demi kejayaan
Islam. Ketika Rasulullah saw menanyakan pada beliau, "Harta apakah yang
kamu tinggalkan untuk anak-anakmu?" Beliau menjawab, "Saya tinggalkan
Allah dan Rasul-Nya untuk mereka." Karena kedermawanan dan keikhlasan Abu
Bakar inilah, maka Rasulullah saw bersabda: "Tidak ada harta seorang pun
yang memberikan manfaat kepadaku melebihi harta Abu bakar."
Kaum Anshor pun
tak kalah tingginya memiliki sifat itsar. Dalam sebuah kisah disebutkan bahwa
suatu hari kaum Anshor datang menemui Rasulullah saw mengutarakan pendapatnya,
"Wahai Rosulullah bagilah menjadi dua tanah yang kami miliki untuk kami
dan saudara kami muhajirin". Rasulullah menjawab, "Jangan lakukan
itu, tapi cukupilah kebutuhan mereka dan bagilah hasil panen kepada mereka.
Sesungguhnya tanah ini adalah milik kalian". Maka kaum Ansor berkata,
"kami ridho atas keputusan engkau wahai Rasulullah."
Dalam kisah lain
juga disebutkan bahwa suatu ketika Rasulullah saw menawarkan kepada para
sahabat, siapakah di antara mereka yang bersedia menjamu tamu Rasulullah saw,
maka salah seorang dari kaum Anshor berdiri dan menyatakan kesediaannya.
Padahal, ketika ia pergi enemui keluarganya, teryata istrinya mengatakan bahwa
mereka tidak mempunyai makanan, kecuali untuk anak-anaknya. Maka, orang Anshor
ini mengatakan kepada istrinya, "Kalau begitu, bila anak-anak hendak makan
malam, tidurkanlah mereka. Dan kemarilah kamu, matikan lampu, tidak apa-apa
kita tidak makan pada malam ini."
Pagi-pagi sekali,
ketika orang Anshor ini datang kepada Rasululloh saw, bersabdalah beliau,
"Allah kagum atas perbuatan si fulan dan fulanah." Maka Alloh swt
berfirman: "Dan orang-orang yang telah menempati kota Madinah dan telah
beriman (Anshor) sebelum (kedatangan) mereka (Muhajirin), mereka mencintai
orang yang berhijrah kepada mereka. Dan mereka tiada menaruh keinginan dalam
hati mereka terhadap apa-apa yang diberikan kepada mereka (orang Muhajirin);
dan mereka mengutamakan (orang-orang Muhajirin), atas diri mereka sendiri.
Sekalipun mereka memerlukan (apa yang mereka berikan itu). Dan siapa yang
dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka itulah orang-orang yang
beruntung." (Qs.Al Hasyr :9).
Akhlaq mulia kaum
Anshor dalam mengutamakan kepentingan kaum muhajirin tidak hanya sampai di
situ. Dalam hadits disebutkan bahwa kaum Anshor berkata kepada kaum Muhajirin
agar mereka memilih salah satu dari dua istrinya yang mereka senangi. Kemudian
kaum Anshor akan menceraikan istri tersebut lalu menikahkannya dengan istri
yang telah diceraikannya itu.
Sifat itsar juga
melahirkan refleks-refleks yang tidak dibuat-buat, tapi murni dari hati yang
salim (bersih). dalam satu peperangan dikisahkan, seorang mukmin terkena
pukulan pedang musuh di tengkuknya. Ia tidak berteriak atau mengaduh karena
sakit, tapi ia langsung jatuh tersungkur dan pada akhirnya syahidnya
menjemputkan . Tetapi yang menakjubkan ketika mukmin itu terpukul pedang
tersebut, justru mukmin lain yang melihatnya lah yang mengaduh kesakitan dan
merasakan perihnya ketajaman pedang menembus tubuhnya, seakan-akan pukulan itu
mengenai dirinya. Dan ucapan yang terlontar dari mulut mukmin yang mengaduh
tersebut adalah, "Saudaraku, engkau mendahuluiku menuju surga!" Ucapan
itu merupakan refleksi kebahagiaan dari seorang mukmin melihat indahnya ‘masa
depan’ yang akan dialami oleh mukmin lainnya.
Kisah lain yang
tak kalah mengesankan indahnya ukhuwah adalah suatu ketika sepasukan dari kaum
muslimin keluar untuk berperang. Posisi antara pasukan kaum muslimin dengan
musuh terbatasi oleh sebuah sungai. Kedua pasukan tersebut saling berhadapan.
Komandan pasukan muslim berkata, "Bagaimana pendapat kalian menghadapi
musuh-musuh kalian, sementara mereka bisa memperoleh perbekalan dan air tanpa
harus susah payah? Bagaimana pendapat kalian?" Salah seorang dari mereka
kemudian menjawab, "Kita seberangi saja sungai ini, lalu kita perangi
mereka di tempat mereka berada." Mereka pun akhirnya menceburkan diri
bersama kuda-kuda mereka melintasi sungai agar dapat bertempur dengan musuh. Di
depan mereka terlihat pasukan musuh sudah siap siaga untuk menghunuskan pedang
mereka. Tiba-tiba, salah seorang di antara pasukan kaum muslimin ada yang
berteriak, "Qab (Kantung air bejana yang terbuat dari kayu) –ku………
Qab-ku…jatuh ke air". Sang komandan pun berkata, "Carilah dulu Qab
milik saudara kalian yang hilang". Mereka pun sibuk mencarinya. Sementara,
pasukan musuh sedang menanti mereka dan kematian pun mengitari kepala mereka.
Ketika komandan pasukan musuh itu melihat perilaku pasukan muslim, ia berkata,
"Apa-apaan mereka itu?" Bawahannya menjawab, "Salah seorang dari
mereka kehilangan Qab-nya, dan mereka pun sibuk mencarinya."
Komandan ini pun
berkata, "Jika karena masalah Qab saja mereka sudah seperti itu, lalu
bagaimana jika kalian membunuh salah seorang saja dari mereka? Pasukan.......!
Berdamai sajalah dengan mareka sesuai dengan apa yang mereka inginkan!"
Subhanallah,
demikianlah sejarah kaum salaf telah memperlihatkan kepada kita bahwa kumpulan
manusia itu seluruhnya adalah laksana satu tubuh, melakukan aktivitas yang
satu, serta merasakan perasaan yang sama, walau pun dalam kondisi yang teramat
sulit. Dan Betapa 'pancaran ukhuwah' saja telah mampu mengalahkan musuh dan
memenangkan kaum mukminin, sekaligus menaklukkan kota itu.
Itulah buah dari
persaudaraan dan kesatuan yang diajarkan oleh Rasulullah saw. Kemesraan ukhuwah
seperti itu tidaklah terbentuk begitu saja, sikap takaful (saling membantu)
yang mereka lakukan terbentuk karena ada proses lain yang sebelumnya mereka
jalin. Kemesraan ukhuwah tersebut mereka mulai melalui proses ta’aruf atau
saling mengenal. Dari mulai fisik, karakter, kadar keseriusan taqarruf
(kedekatan) pada Allah, kesenangannya, latar belakang keluarga, dan sebagainya.
Ta’aruf yang baik
akan meminimalisir kekeringan dan keretakan hubungan sesama muslim. Ia juga
dapat membuat hati menjadi lembut serta mampu melenyapkan bibit perpecahan.
Bila wilayah ta’aruf telah terbentang, maka akan tumbuh sifat tafahum (saling
memahami). Sikap tafahum akan menjaga kesegaran dalam berukhuwah. Karena,
ketika keterpautan hati telah terjalin maka timbul sikap saling toleransi, dan
saling kompromi pada hal-hal yang mubah (boleh) sehingga akan membuat hubungan
satu sama lain menjadi lebih harmonis. Puncak tafahum adalah ketika seorang
mukmin dengan mukmin lainnya dapat berbicara dan berpikir dengan pola yang
sama.
Setelah dua
proses itu berjalan barulah terbentuk sikap takaful yang darinya lahir sifat
itsar, puncak amal ukhuwah Islamiyah.
Sungguh,
kemesraan 'pancaran ukhuwah' yang telah dicontohkan oleh generasi dahulu adalah
ukhuwah Islamiyah yang tak lapuk oleh waktu dan musim. Ia akan panjang usia dan
kekal hingga hari akhirat kelak. Oleh karenanya, patutlah kita bercermin pada
generasi awal Islam dan para salafussalih dalam berukhuwah. Dengan demikian,
'pancaran ukhuwah' yang demikian tingginya dimiliki oleh mereka, tidaklah
sekedar menjadi kisah yang sering kita dengar dan kita baca, tetapi juga
menjadi bagian dari hidup kita, Insya Allah.
"Di sekitar
Arsy ada menara-menara dari cahaya. Di dalamnya ada orang-orang yang pakaiannya
dari cahaya dan wajah-wajah mereka bercahaya. Mereka bukan para Nabi dan
syuhada’, tetapi para Nabi dan Syuhada’ iri pada mereka. "Ketika ditanya
oleh para sahabat, Rosulullah saw menjawab, "Mereka adalah orang-orang
yang saling mencintai karena Allah, saling bersahabat karena Allah, dan saling
kunjung karena Allah". (HR. Tirmidzi). Wallahu’alam bishshowaab. (Nurul
Huriah Astuti, Schleidener Strasse 58 52076 Aachen, Germany, e-mail:
nurulha@t-online.de)
Sumber :
1. Hadits
Tsulatsa, Ceramah-ceramah Hasan Al-Banna, Intermedia, Februari 2000 2. Majalah
Tarbawi, Edisi 2 Th I, 20 Juli 1999 M / 7 Robi’ul Akhir 1420 H 3. Ringkasan
Tafsir Ibnu Katsir Jilid 4, Muhammad Nasib Ar-Rifa’I, Gema Insani, Jakarta 2000
Tidak ada komentar:
Posting Komentar